Minggu, 06 November 2011

Lagi…

Sudah berkali-kali berita migran wanita yang mendapat perlakuan yang tidak berkemanusiaan terdengar. Bahkan hingga telinga pun bosan mendengarnya. Bentakan, tindak kekerasan, hingga pelecehan seksual menjadi makanan sehari-hari. Pemerintah seperti pemadam kebakaran, baru bertindak setelah ada korban, baru meminta maaf tatkala media mulai bersuara…. atau hanya sekadar alasan masih banyak permasalahan bangsa yang mesti diselesaikan?

Sulit untuk mencari siapa yang salah, bahkan kalaupun secara hukum telah nyata siapa yang salah , bisa dimungkinkan hanya akan berkilah dan menuding pihak lain seolah dirinya tak bersalah. Sulit untuk mengubah tingkah polah para policy maker yang tampak bersahaja namun penuh retorika, hanya memberikan janji buta pada mahasiswa bahwa mereka akan berusaha memperjuangkan rakyat jelata.
Maka, kali ini tak usahlah melihat ke atas ataupun kebawah, lihatlah layaknya seekor ayam memandang 180 derajat untuk bisa waspada akan musuh yang akan datang tiba-tiba. Waspada di sisi kiri kemiskinan menjadikan perempuan Indonesia seolah berubah tangkas dan harus “berotot” menghadapi segala resiko yang mungkin terjadi di lingkungan kerja yang tidak selamanya bersahabat. Waspada di kanan masih banyak perempuan belum paham dengan kodratnya sebagai perempuan. Dan sekarang, di depan mata ternyata belum terselesaikan juga permasalahan migran yang sejak dahulu sampai sekarang seakan sedikitnya data korban menjadi alasan untuk tidak sesegera mungkin menyelesaikannya.

“Mereka juga manusia”, kata salah seorang mahasiswa ketika perwakilan dari kemenakertrans menyampaikan bahwa TKI yang bermasalah itu hanya tidak sampai 1% dari ribuan TKI yang ada. Yah, mereka juga manusia, bahkan kalaupun hanya satu orang saja yang menjadi korban maka bisa disimpulkan bahwa ada kesalahan disana. Proses pengiriman, mulai dari penyeleksian hingga penempatan seharusnya dievaluasi dan diperbaiki baik sistem maupun oknum yang terlibat di dalamnya.
Permasalahan terbesar sebenarnya adalah kemiskinan. Negara kita belum bisa menjamin keberlangsungan hidup dari warga negaranya, padahal sudah jelas salah satu hak asasi manusia dalam UUD 1945 adalah hak untuk hidup, mendapat penghidupan yang layak dan hak mendapat pekerjaan.

Lagi-lagi yang terlihat adalah negara yang belum siap dengan jumlah warganya yang begitu besar dan peramsalahan yang begitu kompleks. Ini berdampak pada perlindungan terhadap para “tiang negara” yaitu perempuan. Kewajiban memberi nafkah dalam keluarga hanya ditujukan bagi suami (laki-laki). Perempuan (istri) ketika memberikan penghasilan kepada keluarga dianggap sebagai sedekahnya, maka yang bertanggungjawab terhadap keuangan keluarga seharusnya adalah suami. Namun, permasalahannya adalah dengan lapangan pekerjaan yang sedikit serta kemampuan yang tidak seberapa mengakibatkan para suami belum mendapat penghasilan yang mencukupi keluarganya, masih banyak yang berada di bawah garis kemiskinan yang akhirnya “memaksa” perempuan untuk ikut terjun ke dunia kerja bahkan dalam lapangan yang “tidak ramah ” perempuan. Salah satunya adalah menjadi buruh migran. Walaupun hanya janji yang diucapkan PJTKI maupun dari calo yang ilegal yang tidak pasti, perempuan akhirnya bersemangat untuk meraup rezeki yang masih fatamorgana, ada atau khayalan belaka yang berselimut ketidakpastian.

Maka, kunci dari permasalahan ini adalah ; adanya jaminan sosial terhadap seluruh warga negara akan kehidupan yang layak yang diberikan negara terhadap warga negaranya, serta kembali kepada fitrah bahwa tanggungjawab nafkah dalam keluarga adalah dari suami bukan istri sebagai wujud balasan terhadap kelebihan yang dimilikinya namun tidak dimiliki oleh perempuan.

Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah meleihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka telah memberikan nafkah dari hartanya…..” (QS An-Nisa’ 34)

Wallahu’alam bishshowab..

RMW

Tidak ada komentar:

Posting Komentar