Selasa, 20 Desember 2011

Kisah Gadih Minang di Perantauan

Sesekali ia terlihat menghela nafas. Tangannya yang terlihat keriput ntah apakah senyatanya begitu atau korban dari kerasnya kehidupan di kota. kira-kira umurnya 50 an. Sebuah kotak kecil yang setia menemani hari-harinya masih berisi recehan cepek-an. yah, mungkin dengan begitu harpan akan semakin menguat dan doa akan semakin dalam dipintakan.
Rintik hujan membuatku berpapasan dengannya di gang yang menjadi saksi penrjuangan ku di kampus ternama ini. Matanya masih sama saat pertama kali bertemu di gang itu. Sayu dan penuh harap. Kucoba tersenyum namun ntahlah apakah seringai mengerikan yang keluar atau memang semburat ketenangan yang dipancarkan. Pikiran negative selalu merasuki pikiran dari orang-orang tak dikenal hingga teman sejawat. “Pengemis itu kaya loh, sebulan bisa dapat jutaan”
Hmm..
(to be continued)

Minggu, 06 November 2011

Lagi…

Sudah berkali-kali berita migran wanita yang mendapat perlakuan yang tidak berkemanusiaan terdengar. Bahkan hingga telinga pun bosan mendengarnya. Bentakan, tindak kekerasan, hingga pelecehan seksual menjadi makanan sehari-hari. Pemerintah seperti pemadam kebakaran, baru bertindak setelah ada korban, baru meminta maaf tatkala media mulai bersuara…. atau hanya sekadar alasan masih banyak permasalahan bangsa yang mesti diselesaikan?

Sulit untuk mencari siapa yang salah, bahkan kalaupun secara hukum telah nyata siapa yang salah , bisa dimungkinkan hanya akan berkilah dan menuding pihak lain seolah dirinya tak bersalah. Sulit untuk mengubah tingkah polah para policy maker yang tampak bersahaja namun penuh retorika, hanya memberikan janji buta pada mahasiswa bahwa mereka akan berusaha memperjuangkan rakyat jelata.
Maka, kali ini tak usahlah melihat ke atas ataupun kebawah, lihatlah layaknya seekor ayam memandang 180 derajat untuk bisa waspada akan musuh yang akan datang tiba-tiba. Waspada di sisi kiri kemiskinan menjadikan perempuan Indonesia seolah berubah tangkas dan harus “berotot” menghadapi segala resiko yang mungkin terjadi di lingkungan kerja yang tidak selamanya bersahabat. Waspada di kanan masih banyak perempuan belum paham dengan kodratnya sebagai perempuan. Dan sekarang, di depan mata ternyata belum terselesaikan juga permasalahan migran yang sejak dahulu sampai sekarang seakan sedikitnya data korban menjadi alasan untuk tidak sesegera mungkin menyelesaikannya.

“Mereka juga manusia”, kata salah seorang mahasiswa ketika perwakilan dari kemenakertrans menyampaikan bahwa TKI yang bermasalah itu hanya tidak sampai 1% dari ribuan TKI yang ada. Yah, mereka juga manusia, bahkan kalaupun hanya satu orang saja yang menjadi korban maka bisa disimpulkan bahwa ada kesalahan disana. Proses pengiriman, mulai dari penyeleksian hingga penempatan seharusnya dievaluasi dan diperbaiki baik sistem maupun oknum yang terlibat di dalamnya.
Permasalahan terbesar sebenarnya adalah kemiskinan. Negara kita belum bisa menjamin keberlangsungan hidup dari warga negaranya, padahal sudah jelas salah satu hak asasi manusia dalam UUD 1945 adalah hak untuk hidup, mendapat penghidupan yang layak dan hak mendapat pekerjaan.

Lagi-lagi yang terlihat adalah negara yang belum siap dengan jumlah warganya yang begitu besar dan peramsalahan yang begitu kompleks. Ini berdampak pada perlindungan terhadap para “tiang negara” yaitu perempuan. Kewajiban memberi nafkah dalam keluarga hanya ditujukan bagi suami (laki-laki). Perempuan (istri) ketika memberikan penghasilan kepada keluarga dianggap sebagai sedekahnya, maka yang bertanggungjawab terhadap keuangan keluarga seharusnya adalah suami. Namun, permasalahannya adalah dengan lapangan pekerjaan yang sedikit serta kemampuan yang tidak seberapa mengakibatkan para suami belum mendapat penghasilan yang mencukupi keluarganya, masih banyak yang berada di bawah garis kemiskinan yang akhirnya “memaksa” perempuan untuk ikut terjun ke dunia kerja bahkan dalam lapangan yang “tidak ramah ” perempuan. Salah satunya adalah menjadi buruh migran. Walaupun hanya janji yang diucapkan PJTKI maupun dari calo yang ilegal yang tidak pasti, perempuan akhirnya bersemangat untuk meraup rezeki yang masih fatamorgana, ada atau khayalan belaka yang berselimut ketidakpastian.

Maka, kunci dari permasalahan ini adalah ; adanya jaminan sosial terhadap seluruh warga negara akan kehidupan yang layak yang diberikan negara terhadap warga negaranya, serta kembali kepada fitrah bahwa tanggungjawab nafkah dalam keluarga adalah dari suami bukan istri sebagai wujud balasan terhadap kelebihan yang dimilikinya namun tidak dimiliki oleh perempuan.

Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah meleihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka telah memberikan nafkah dari hartanya…..” (QS An-Nisa’ 34)

Wallahu’alam bishshowab..

RMW

Sabtu, 21 Mei 2011

perempuan dan politik

Keterwakilan perempuan dalam politik

Keterwakilan perempuan dalam politik diartikan sebagai fungsi keberadaan perempuan dalam pemerintahan dan negara. Keberadaan ini mengandung makna bahwa seorang perempuan merupakan representasi dari rakyat yang diwakilkannya yaitu kaum wanita. Bila dilihat dari jumlah kaum wanita di Indonesia, jumlah prempuan dalam kancah politik masih belum mewakili jumlah seluruh perempuan Indonesia yang lebih banyak dari kaum laki-laki. Keberadaan kaum laki-laki justru mendominasi dibandingan dengan perempuan yang harusnya duduk di kursi pemerintahan baik eksekutif, legislative dan yudikatif. Perempuan dibutuhkan mewakili aspirasi dari kaumnya karena dengan keberadaan mereka di politik setidaknya dapat memberikan solusi terbaik bagi kaum wanita dengan psikologis yang sama sebagai wanita. Permasalahan yang sebenarnya terjadi adalah laki-laki belum bisa memahami kebutuhan wanita sehingga sulit bagi mereka menterjemahkannya ke dalam bahasa undang-undang dan kebijakan yang akan dikeluarkan.

Representasi prempuan sebenarnya lebih dari sekadar keterwakilan dari perempuan yang berkembang pengaruh politiknya. Perempuan di politik dapat menjadi bukti perlindungan terhadap hak-hak kaum wanita dengan kondisi masyarakat yang masih patriarki. Perempuan masih dinilai sebagai seorang istri yang melayani suami dan tunduk pada suami, sebagai seorang ibu yang harus mendidik anak-anaknya dengan saklek. Hakekatnya seorang wanita memang memiliki peran sebagai “penjaga rumah” namun bukan berarti seorang wanita tidak boleh ikut serta dalam perpoltikan Indonesia. Keterwwakilan perempuan dalam partai politik juga dapat dijadikan rujukan sudah representasikah peremuan di politik atau tidak. Secara umum masih banyak perempuan yang masuk dalam partai politik namun ketika seorang perempuan berpotensi untuk menjadi calon legislative , maka ia akan dihadapkan pada guilty filling(rasa bersalah) terhadap keluarganya. Naluri perempuan untuk tidak terlalu sibuk dengan aktivitas diluar rumah menjadi salah satu faktor mengapa pada akhirnya banyak perempuan yang berpotensi tidak jadi ikut dalam pemilu. Permasalahan sebenarnya yang dihadapi perempuan adalah hambatan sosial dan budaya yang menghambat mereka untuk berpartisipasi di berbagai lembaga politik.

Secara umum, faktor yang mempengaruhi perempuan ikut dalam perpolotikan adalah:
1. Keluarga, terutama jika sudah mempunyai suami dan suami tidak mengizinkan.
2. Masyarakat, paradigm masyarakat yang menganggap bahwa perempuan yang ikut dalam perpolitikan biasanya iktu terbawa arus politik yang tidak sehat sehingga ibu rumah tangga merupkan tugas yang paling cocok untuk seorang perempuan.
3. Kesempatan yang tidak sama diantara partai politik
4. Lingkungan kerja dan basis organisasi
5. Ketidaktegasan undang-undang pemilu dalam melaksanakan affirmative action

Perkembangan perpolitikan Indonesia sekarang telah menunjukkan kebutuhannya terhadap wakil dari perempuan. Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar dengan perbandingan jumlah permepuan yang lebih banyak dari laki-laki menjadi sebuah acuan bahwa negara ini harus setidaknya memahami kebutuhan perempuan. Untuk dapat benar-benar mewujudkannya dalam perundang-undnagan maupun dalam kebijakan umum salah satu caranya adalah dengan memberikan kesempatan kepada perempuan untuk ikut serta dalam kancah politik. Angka 30% pun keluar sebagai bukti konkret kebutuhan akan perempuan yang sampai saat ini belum dapat dimaksimalkan dengan baik oleh kaum perempuan karena faktor di atas tadi.

Kembali pada sejarah, perempuan Indonesia telah membuktikan eksistensinya terutama dalam masa-masa perjuangan kemerdekaan. Perempuan merupakan asset besar bangsa Indonesia terutama karena semangat perjuangan dan rasa nasionalisme perempuan yang tidak kalah jauh dari laki-laki. Pada masa itu bahkan lsm wanita sudah menjamur, seperti poetri medika di Batavia, Pawiyata Wanita, Perserikatan Perempuan Indonesia dan lain-lain.

Sampai saat ini pun perempuan menjadi sorotan penting dalam perpolitikan di Indonesia. Namun, pada tahun 2002, ketimpangan gender dalam representasi polotik kembali disorot sejak Panja RUU Pemilu tidak memasukkan rumusan mengenai kuota minimal 30 % untuk perempuan. hal ini dikarenakan ketidakhadiran perwakilan perempuan dalam proses pembuatan RUU tersebut. Oleh karena itulah, ini merupakan contoh bahwa perwakilan perempuan akan memperjuangkan hak perempuan pula. Tanpa kehadiran fisik anggota parlemen perempuan, isu-isu akan mudah dipatahkan dengan segala cara.

Sumber:
Sadli,saparinah. 2010. Berbeda Tetapi Setara. Jakarta : Kompas Media Nusantara
Irianto,sulistyowati.2006. Perempuan dan Hukum. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Sabtu, 30 April 2011

Siapakah Pahlawan itu?


Seorang perempuan muda berseragam putih menyeberangi jalan yang sepi dengan kendaraan .Daerah itu bukanlah perkotaan. Kicauan burung, nyanyian jangkrik bahkan gumaman sapi yang perlahan menghibur hati seolah menjadi saksi langkah-langkah yang tergesa-gesa menuju tempat yang sepertinya begitu mengharapkan kedatangannya. Ya, tepat di saat semua makhluk beristirahat, perempuan ini dengan semangatnya melewati jalan berlumpur yang tidak ramah. Bebatuan yang menusuk kaki menjadi cambuk tuk segera sampai tujuan.

“Alhamdulillah, tolong bu, istri saya sepertinya akan segera melahirkan”, suara bariton yang bergetar penuh harap menyambut kedatangnya sesampai di depan pintu rumah sederhana itu. Tak berapa lama kemudian, suara tangisan bayi pun mengusik ketenangan malam.

Siapakah dia ? seorang perempuan yang sehari-harinya tak kenal lelah dari satu desa ke desa yang lain untuk menyelamatkan jundi-jundi yang akan menjadi generasi harapan. Hanya seorang perempuan biasa yang dengan seragam lusuhnya karena sering dipakai utnuk bertugas. Hanya seorang perempuan biasa dengan sebuah tas kumal berisi peralatan dan obat-obatan. Mungkin tak ditemukan di perkotaan, Karena ia hanya hadir untuk orang-orang yang membutuhkan dengan ketidakmampuan mereka.
“maaf bu, saya tidak punya uang untuk proses persalinan, seandainya……”kalimat yang tidak perlu dilanjutkan lagi karena ia sudah hafal dengan kata-kata itu.
Apa yang membuat mereka bertahan dengan segala halang rintang yang tidak ringan? Dengan segala keterbatasan transportasi dan peralatan? Dengan dingin malam ataupun panasnya siang?

Atau siapakah dia yang berada di balik kesuksesan seorang dokter. Yang mengibur pasien siang dan malam, merawat layaknya seorang ibu penuh kasih. Siap dipanggil saat dibutuhkan. Tak kenal siapa yang memanggil, bahkan rela menemani walau tak tahan dengan kondisi terburuk sekalipun. Datang dengan senyum pembawa harapan. Dengan segala keinginan tetap bertahan untuk sebuah pengorbanan.

Tulus..

Jawaban singkat dari semua itu.
Semua perkuliahan diikuti dengan sungguh-sungguh karena ilmu menetukan keberhasilan proses persalinan dan kefasihan dalam merawat. Apa jadinya jika seorang perawat tidak cerdas dan tidak paham dengan ilmu yang didapatnya? Apa jadinya jika seorang perawat bingun dengan kondisi pasien yang berbeda-beda? Sungguh hanya akan mempersulit keadaan dan mencelakakan orang lain. Sebuah hadits sederhana ini menjadi penentunya;

عن جابر قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « المؤمن يألف ويؤلف ، ولا خير فيمن لا يألف ، ولا يؤلف، وخير الناس أنفعهم للناس »

Diriwayatkan dari Jabir berkata,”Rasulullah saw bersabda,’Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Thabrani dan Daruquthni)
Bermanfaat dengan segala resiko yang harus dihadapi menjadikan perempuan berseragam putih ini bukanlah perempuan biasa. Mereka ada layaknya pahlawan yang menjalankan misi tanpa pamrih. Menyelamatkan banyak manusia yang dengan kehendak Allah menghirup udara dunia.

Sebagaimana Rufaidah Binti Sa’ad al-Aslamiyah. Sahabiyah yang berasal dari Bani (marga) Aslam, salah satu marga di suku Khazraj di Madinah. Ia merupakan perawat pertama pada masa penyebaran islam /The Islamic Periode ( 570 – 632 M).Pada saat peperangan yang diikuti yaitu Perang Badar, Perang Uhud, Perang Khandaq, Perang Khaibar dan beberapa perang lainnya, ia lah yang menjadi tonggak dalam penjagaan dan perawatan terhadap kaum muslimin yang terluka. Atau layaknya Nusaibat Binti Ka’ab Bin Maziniat, dia adalah ibu dari Abdullah dan Habi, anak dari Bani Zayd bin Asim. Dia berpartisipasi dalam Perjanjian Akabat dan Perjanjian Ridwan, dan andil dalam perang Uhud dan perang melawan Musailamah di Yamamah bersama suami dan anaknya. Dia terlibat dalam perang Uhud, merawat korban yang terluka dan mensuplai air dan juga digambarkan berperang pedang membela Nabi. Namun, dengan segala kerendahhatian mereka tidak menutup mata mereka untuk tetap berkarya yang lebih besar, terbukti dengan rufaidah yang mendirikan Rumah Sakit Medan Perang.
Zaman sekarang, bisa dilihat dari salah seorang perawat bidan muslimah pada tahun 1960 yang bernama Lutfiyyah Al-Khateeb yang merupakan perawat bidan arab Saudi pertama yang mendapatkan Diploma Keperawatan di Kairo,  ia mendirikan institusi keperawatan di Arab Saudi.

Perempuan berseragam putih ini berada di balik kesuksesan sebuah peperangan, dibalik lahirnya generasi pembawa kemenangan, dan di balik kemegahan hidup yang terkadang menistakan harapan. Mereka hadir dengan segala peluh dan keteguhan hati ber ta’awun dengan semua yang membutuhkanya. Karena memang mereka hadir layaknya pahlawan yang datang saat dibutuhkan dan berjuang untuk kemaslahatan.
Wallahu’alam bishhowab.

depok,20 April 2011

Rabu, 02 Maret 2011


Selaksa Cinta untuk Ayahanda


Ku tak pernah meminta untuk menjadi buah hatinya…
Kala itu ku hanya bagaikan kertas putih tak tergores..suci..
Ku tak pernah meminta untuk menjadi yang paling disayangnya..
Berjuta benih bintang pastikan berlomba tuk mengharapkan.
Ku tak pernah meminta untuk menjadi yang paling dipujinya..
Seluas pasir di pantai menjadi saksi perjuangan srikandi di setiap pulau di belahan dunia..

siluet gagah itu bagaikan oase di tengah gurun pasir kehidupan..
Datang tanpa mengharap untaian terima kasih..
Karena ia hadir dengan cara berbeda dari terkira..
Pendekar itu bukan lah seorang perempuan..
Namun, kecupan hangat di kening tak lepas kala ku harungi samudra penuh dentuman ombak tak bersahabat..
Untaian kalimat mutiara selalu hiasi perjalanan saat wajah tak bersua..
Tatapan yakin dan penuh kobaran semangat berbingkai keikhlasan jadi santapan yang meneguhkan..

Dulu belum termaknai semua itu..
Buaian tangan kekar yang rela berlelah setiap detik
Tak ternyana di dalam hati rindukan jundi pelipur lara
Nyanyian malam yang melelapkan tak disiakan walau tuk sekadar mengecup si buah hati,
Melihat wajah generasi harapan..mengantikannya dimasa depan..

Hati berkata namun lisan tak terbawa
Hanya doa pada Yang Kuasa..
tersampaikan lah selaksa cinta tuk ayahanda..

(Depok, 2 Maret 2011)
Met Milad yah..^^