Sabtu, 21 Mei 2011

perempuan dan politik

Keterwakilan perempuan dalam politik

Keterwakilan perempuan dalam politik diartikan sebagai fungsi keberadaan perempuan dalam pemerintahan dan negara. Keberadaan ini mengandung makna bahwa seorang perempuan merupakan representasi dari rakyat yang diwakilkannya yaitu kaum wanita. Bila dilihat dari jumlah kaum wanita di Indonesia, jumlah prempuan dalam kancah politik masih belum mewakili jumlah seluruh perempuan Indonesia yang lebih banyak dari kaum laki-laki. Keberadaan kaum laki-laki justru mendominasi dibandingan dengan perempuan yang harusnya duduk di kursi pemerintahan baik eksekutif, legislative dan yudikatif. Perempuan dibutuhkan mewakili aspirasi dari kaumnya karena dengan keberadaan mereka di politik setidaknya dapat memberikan solusi terbaik bagi kaum wanita dengan psikologis yang sama sebagai wanita. Permasalahan yang sebenarnya terjadi adalah laki-laki belum bisa memahami kebutuhan wanita sehingga sulit bagi mereka menterjemahkannya ke dalam bahasa undang-undang dan kebijakan yang akan dikeluarkan.

Representasi prempuan sebenarnya lebih dari sekadar keterwakilan dari perempuan yang berkembang pengaruh politiknya. Perempuan di politik dapat menjadi bukti perlindungan terhadap hak-hak kaum wanita dengan kondisi masyarakat yang masih patriarki. Perempuan masih dinilai sebagai seorang istri yang melayani suami dan tunduk pada suami, sebagai seorang ibu yang harus mendidik anak-anaknya dengan saklek. Hakekatnya seorang wanita memang memiliki peran sebagai “penjaga rumah” namun bukan berarti seorang wanita tidak boleh ikut serta dalam perpoltikan Indonesia. Keterwwakilan perempuan dalam partai politik juga dapat dijadikan rujukan sudah representasikah peremuan di politik atau tidak. Secara umum masih banyak perempuan yang masuk dalam partai politik namun ketika seorang perempuan berpotensi untuk menjadi calon legislative , maka ia akan dihadapkan pada guilty filling(rasa bersalah) terhadap keluarganya. Naluri perempuan untuk tidak terlalu sibuk dengan aktivitas diluar rumah menjadi salah satu faktor mengapa pada akhirnya banyak perempuan yang berpotensi tidak jadi ikut dalam pemilu. Permasalahan sebenarnya yang dihadapi perempuan adalah hambatan sosial dan budaya yang menghambat mereka untuk berpartisipasi di berbagai lembaga politik.

Secara umum, faktor yang mempengaruhi perempuan ikut dalam perpolotikan adalah:
1. Keluarga, terutama jika sudah mempunyai suami dan suami tidak mengizinkan.
2. Masyarakat, paradigm masyarakat yang menganggap bahwa perempuan yang ikut dalam perpolitikan biasanya iktu terbawa arus politik yang tidak sehat sehingga ibu rumah tangga merupkan tugas yang paling cocok untuk seorang perempuan.
3. Kesempatan yang tidak sama diantara partai politik
4. Lingkungan kerja dan basis organisasi
5. Ketidaktegasan undang-undang pemilu dalam melaksanakan affirmative action

Perkembangan perpolitikan Indonesia sekarang telah menunjukkan kebutuhannya terhadap wakil dari perempuan. Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar dengan perbandingan jumlah permepuan yang lebih banyak dari laki-laki menjadi sebuah acuan bahwa negara ini harus setidaknya memahami kebutuhan perempuan. Untuk dapat benar-benar mewujudkannya dalam perundang-undnagan maupun dalam kebijakan umum salah satu caranya adalah dengan memberikan kesempatan kepada perempuan untuk ikut serta dalam kancah politik. Angka 30% pun keluar sebagai bukti konkret kebutuhan akan perempuan yang sampai saat ini belum dapat dimaksimalkan dengan baik oleh kaum perempuan karena faktor di atas tadi.

Kembali pada sejarah, perempuan Indonesia telah membuktikan eksistensinya terutama dalam masa-masa perjuangan kemerdekaan. Perempuan merupakan asset besar bangsa Indonesia terutama karena semangat perjuangan dan rasa nasionalisme perempuan yang tidak kalah jauh dari laki-laki. Pada masa itu bahkan lsm wanita sudah menjamur, seperti poetri medika di Batavia, Pawiyata Wanita, Perserikatan Perempuan Indonesia dan lain-lain.

Sampai saat ini pun perempuan menjadi sorotan penting dalam perpolitikan di Indonesia. Namun, pada tahun 2002, ketimpangan gender dalam representasi polotik kembali disorot sejak Panja RUU Pemilu tidak memasukkan rumusan mengenai kuota minimal 30 % untuk perempuan. hal ini dikarenakan ketidakhadiran perwakilan perempuan dalam proses pembuatan RUU tersebut. Oleh karena itulah, ini merupakan contoh bahwa perwakilan perempuan akan memperjuangkan hak perempuan pula. Tanpa kehadiran fisik anggota parlemen perempuan, isu-isu akan mudah dipatahkan dengan segala cara.

Sumber:
Sadli,saparinah. 2010. Berbeda Tetapi Setara. Jakarta : Kompas Media Nusantara
Irianto,sulistyowati.2006. Perempuan dan Hukum. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar